Tak Pernah Digaji, Bisa Kabur Karena Dibantu Anak Majikan

Rabu 06 Nov 2024 - 20:41 WIB
Editor : Jurnal

Marlia baru berumur 16 tahun saat diselundupkan masuk ke Sarawak pada 2006. Pengalamannya tentu sangat minim, baik dalam urusan dunia kerja maupun menjadi warga asing.

Dari pengakuannya kepada Konjen Sigit, Marlia masuk ke negeri jiran dibawa oleh oknum agen penyalur tenaga kerja dari Indonesia. Saat itu, dirinya dijanjikan akan dipekerjakan di kedai atau warung makan dengan gaji yang tidak pernah disebutkan.

Selanjutnya Marlia mengaku diantarkan oleh agen tersebut ke agen pekerja Malaysia yang berada di daerah Sarikei, Sarawak. Awalnya ia ditempatkan di sebuah kedai kopi di Bintulu, namun tidak sampai setahun dipindahkan ke rumah Kuang Lee Ing untuk bekerja sebagai PRT.

Marlia bekerja tanpa menerima gaji, tidak boleh keluar rumah dengan bebas, tidak diberikan izin untuk pulang kampung maupun akses untuk berkomunikasi dengan keluarga selama bekerja 17 tahun dengan Kuang Lee Ing. Sampai akhirnya ia berhasil kabur atas bantuan anak majikannya yang sudah sejak usia empat tahun diasuhnya. Anak tersebut merasa kasihan melihat Marlia telah diperlakukan seperti budak oleh ibunya dengan tidak diberikan gaji selama bekerja.

Anak majikannya sempat menyembunyikan Marlia di rumah tetangga sebelum menghubungi KJRI Kuching, sampai akhirnya pada 12 Juni 2023 tim dari KJRI berhasil bertemu langsung dengannya, lalu membawanya ke tempat singgah sementara (shelter).

 Berjuang Lewat Jalur Hukum

Untuk bisa mendapatkan gaji yang tidak pernah diterima, KJRI Kuching mendampingi, mengawal, memonitor Marlia dalam menjalani proses hukum. Itu menjadi bentuk perlindungan terhadap WNI rentan di luar negeri, terutama para pekerja migran.

Kasus eksploitasi Marlia diproses secara hukum berdasarkan Undang-Undang Pencegahan Perdagangan Orang dan Penyelundupan Migran 2007 (ATIPSOM 2007) oleh Jabatan Tenaga Kerja (JTK) Sarawak di Mahkamah Rendah Bintulu.

Penyelesaian kasus hukum di Malaysia seperti yang Marlia hadapi kebanyakan membutuhkan waktu yang panjang. Banyak dari pekerja migran Indonesia yang menghadapi kasus serupa, membutuhkan waktu lebih dari 2 tahun sampai proses peradilan benar-benar selesai dan mereka bisa kembali ke tanah air.

Bagi korban TPPO, jelas butuh kekuatan mental dan kesabaran ekstra untuk menyelesaikan itu semua, demi mendapatkan haknya. Di satu sisi, mereka sudah pasti amat sangat rindu keluarga di kampung halaman.

Kondisi itu yang sering kali menjadi celah masuk pihak mantan majikan melalui pengacaranya “bergerilya” untuk mencoba menawarkan kompensasi dengan nilai jauh di bawah dari tuntutan yang pekerja migran Indonesia ajukan dalam proses peradilan. Itu sempat terjadi pada Marlia.

KJRI Kuching segera memperketat pendampingan dan monitor terhadap Marlia. Bahkan Konjen Sigit sempat mengirimkan nota diplomatik terkait apa yang terjadi terhadap Marlia itu kepada Ketua Menteri Sarawak.

Sampai akhirnya setelah menjalani beberapa kali persidangan, pada 6 September 2024, hakim di Mahkamah Rendah Bintulu memutuskan mantan majikan Marlia harus membayar kompensasi sebesar 100.000 ringgit Malaysia (RM) atau sekitar Rp360 juta dan menyatakan kasus tersebut selesai.

Berdasarkan informasi dari KJRI Kuching, kompensasi untuk Marlia itu telah ditransfer dalam bentuk rupiah ke rekening Marlia di Indonesia.

Tentu selalu ada pembelajaran yang dapat dipetik oleh semua, terutama bagi para calon pekerja migran Indonesia, dari setiap kasus TPPO yang terungkap. Begitu pula dari kasus Marlia.

Siapa saja hendaknya memastikan jika merantau keluar negeri untuk mencari rezeki melalui jalur resmi dan memiliki semua dokumen keimigrasian yang lengkap agar lebih aman dalam bekerja. Bagaimanapun keluarga di kampung halaman selalu menanti.

Kategori :