Sebagai tanggapan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sendiri sudah memastikan bahwa pemerintah tidak akan menaikkan harga BBM hingga Juni mendatang. Walaupun Ia mengakui bahwa konflik Iran-Israel memang berpotensi mengganggu pasokan sekaligus meningkatkan harga minyak dunia.
Kendatipun saat ini Indonesia relatif tidak terlalu bergantung pada pasokan BBM dari Timur Tengah, konflik Iran-Israel secara tak langsung tetap berdampak karena serangan antara dua negara itu terjadi di dekat Selat Hormuz yang merupakan salah satu jalur logistik yang krusial.
Konflik ini kemungkinan akan menghadapkan Pemerintah Indonesia pada dua pilihan dilematis, yakni antara terpaksa menaikkan harga BBM atau menyesuaikan anggaran subsidi BBM guna menahan lonjakan harga.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji sebelumnya telah melakukan kalkulasi dengan asumsi kenaikan harga jual minyak mentah di Indonesia (Indonesian Crude Oil Price/ICP) 100 dolar AS per barel, dengan kurs Rp15.900 per dolar AS.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa anggaran subsidi dan kompensasi BBM dapat naik menjadi Rp249,86 triliun dari asumsi APBN 2024 yang sekitar Rp160,91 triliun. Apabila harga minyak mentah menembus 100 dolar AS per barel. Hal ini menjadi gambaran skenario terburuk imbas dari konflik Iran-Israel.
Senada, ekonom Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat (LPEI) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Teuku Riefky juga memproyeksikan akan terjadi penyesuaian subsidi BBM dalam negeri.
Kalau konfliknya cukup besar, maka beban subsidi kian besar pula, bahkan mungkin perlu adanya tambahan atau penyesuaian lebih lanjut dari subsidi BBM.
Efek domino lain yang berpotensi mengikuti yaitu inflasi yang kian meningkat seiring naiknya harga BBM dalam negeri. Harga barang yang diatur pemerintah seperti BBM dan elpiji (LPG) menjadi salah satu penyumbang inflasi.
Untuk saat ini, inflasi tahunan Indonesia masih tercatat di level yang aman, yakni 3,05 persen per Maret 2024. Apabila terjadi kenaikan harga BBM, hal ini berpotensi meningkatkan tekanan terhadap inflasi Indonesia.
Sebelum terjadi serangan balasan Iran ke Israel, beberapa pidato Ketua Bank Sentral AS atau The Fed Jerome Powell tersirat sinyal langkah bank sentral ini untuk menurunkan suku bunga acuannya (Fed Funds Rate/FFR). Namun hal itu kian sirna dengan adanya serangan mendadak Iran ke Israel yang berbuntut pada aksi saling berbalas.
Saat ini, suku bunga The Fed masih tertahan di level 5,25-5,50 persen, dan diprediksi akan tetap di level yang sama bahkan berpotensi naik. Hal ini merupakan imbas lain dari eskalasi konflik yang terjadi di Timur Tengah.
Suku bunga acuan The Fed perlu diwaspadai oleh negara-negara lain, tak terkecuali Indonesia. Apalagi mengingat dolar AS saat ini yang terus menguat hingga melemahkan nilai tukar lainnya, termasuk rupiah. Suku bunga acuan yang tinggi menyebabkan tekanan lebih bagi nilai tukar rupiah.
Ekonom sekaligus mantan Menteri Riset dan Teknologi RI periode 2019 -2021 Bambang Brodjonegoro menilai, sebagai langkah antisipasi dampak suku bunga The Fed, Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan tetap melakukan intervensi, namun tidak menggunakan cadangan dolar AS karena akan berakibat fatal.
"Kalau misal BI menaikkan suku bunga barangkali efeknya tidak terlalu kuat karena memang yang kejadian adalah dolar AS menguat terhadap semua mata uang akibat tingkat bunga yang tinggi. Ditambah sekarang gara-gara Iran-Israel, investor akan mencari safe haven. Tempat paling aman itu selalu dua, satu US dollar, satu US treasury bond," jelasnya.
Bahkan, eskalasi konflik kedua antar dua negara dapat berdampak terhadap perubahan target pertumbuhan ekonomi tahun ini dari 5,2 persen menjadi 4,6-4,8 persen.