Harap Tidak Ada Lagi Lawan Kotak Kosong
Diskusi publik bertajuk "Kotak Kosong dan Demokrasi dalam Big Data" di UPN Veteran Jawa Timur.--
SURABAYA, JAMBIEKSPRES.CO–Fenomena kotak kosong dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 yang melibatkan calon tunggal atau tanpa kompetisi antar-calon, mendapat perhatian serius dari akademisi.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Prof Kacung Marijan, berharap fenomena tersebut tidak terulang di pemilihan mendatang.
Dalam diskusi publik bertajuk "Kotak Kosong dan Demokrasi dalam Big Data" yang diselenggarakan di UPN Veteran Jawa Timur, Surabaya, Prof Kacung menekankan bahwa kompetisi antar-pasangan calon kepala daerah sangat penting untuk menjaga kualitas demokrasi.
Menurutnya, pilkada seharusnya menjadi ajang kompetisi yang melibatkan dua pasangan calon atau lebih, bukan melawan kotak kosong.
BACA JUGA:Cuaca Tak Menentu, BMKG Ajak Penyelenggara Pilkada Siap Siaga
BACA JUGA:KPU Tetap Gunakan Sirekap Dalam Penghitungan Suara Pilkada 2024
"Tadi saya usulkan agar tidak ada lagi kotak kosong. Threshold atau ambang batas harusnya ditiadakan, sehingga sejak awal, semua orang bisa berkompetisi secara terbuka," ujar Kacung, yang juga menjabat sebagai Wakil Rektor I Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa).
Fenomena kotak kosong, kata Kacung, terjadi karena adanya pengaturan kelembagaan yang secara tidak langsung mengarah pada minimnya calon kepala daerah.
Selain itu, personalisasi dalam pilkada, termasuk dalam pencalonan, sering kali menimbulkan anggapan bahwa calon yang ada sudah cukup kuat, sehingga calon lain tidak akan memiliki peluang. Hal ini juga memicu kartelisasi dalam dunia politik yang akhirnya menjustifikasi terjadinya kotak kosong.
"Dengan menghilangkan threshold, pemilihan selanjutnya bisa lebih kompetitif. Tidak hanya incumbent atau petahana yang bisa maju, tetapi juga calon dari partai lain yang memiliki kapasitas," ujar Kacung menambahkan.
Sementara itu, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UPN Veteran Jawa Timur, Catur Suratnoaji, menyatakan bahwa kotak kosong adalah entitas yang tidak adil karena tidak memiliki wujud yang jelas.
"Kotak kosong itu seperti hantu, tidak terlihat, dan tentu saja tidak ada perlawanan yang seimbang. Jika dibandingkan dengan manusia atau calon, jelas tidak adil," tegasnya.
Catur juga menambahkan bahwa secara politik, kotak kosong juga mencerminkan kelompok yang termarjinalkan, baik dari sisi kekuatan politik maupun ekonomi.
Menurutnya, penyelenggaraan pilkada harus memastikan bahwa semua pihak, terutama calon-calon yang layak, memiliki kesempatan yang sama untuk bersaing.