Kejenuhan Politik dan Kekecewaan Masyarakat Pengaruhi Partisipasi Pemilih

Ilustrasi Pilkada serentak 2024--

JAKARTA, JAMBIEKSPRES.CO-Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Annisa Alfath, mengungkapkan bahwa rendahnya tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada 2024 bukan semata-mata disebabkan oleh jadwal pemilihan yang berdekatan dengan Pemilu dan Pilpres, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial-politik yang lebih kompleks.
Annisa menilai rendahnya partisipasi politik pada Pilkada 2024 merupakan isu yang memerlukan perhatian lebih mendalam dan pendekatan yang lebih holistik.

Menurutnya, untuk meningkatkan partisipasi pemilih, perlu ada perubahan yang melibatkan berbagai dimensi, termasuk reformasi jadwal pemilihan, perbaikan kualitas kandidat, dan upaya untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap politik secara keseluruhan.

BACA JUGA:KPK Persilakan Pejabat Pemda Lapor Jika Diperas Saat Pilkada

BACA JUGA:PBNU Serukan Penguatan Konsolidasi Internal Pasca-Pilkada 2024
“Memang revisi UU Pemilu dan UU Pilkada bisa menjadi solusi untuk memisahkan jadwal pemilihan, namun ini bukan satu-satunya jawaban atas rendahnya partisipasi. Kita harus melihat masalah ini dari berbagai sudut pandang,” jelas Annisa kepada ANTARA di Jakarta.
Ia menambahkan bahwa perubahan regulasi yang bersifat struktural dan administratif hanya akan menyentuh permukaan masalah.

Pada kenyataannya, rendahnya partisipasi pemilih lebih terkait dengan dinamika sosial-politik yang melibatkan kejenuhan politik masyarakat dan ketidakpuasan terhadap hasil-hasil politik yang dirasa tidak memberikan dampak signifikan.
Selain masalah jadwal, Annisa juga menyoroti kebosanan politik yang sering kali muncul di kalangan masyarakat.

Ia mengatakan, meskipun pemisahan jadwal Pemilu dan Pilkada dapat membantu mengurangi kejenuhan politik, itu tidak akan sepenuhnya mengatasi rasa "bosan" yang seringkali disebabkan oleh kekecewaan terhadap kualitas kandidat dan proses politik yang kurang transparan.

BACA JUGA:PDIP Klaim Raih Kemenangan di 14 Provinsi dan 247 Kabupaten/Kota pada Pilkada 2024

BACA JUGA:Angka Golput di Pilkada Jakarta Tinggi
“Rasa bosan ini muncul karena masyarakat merasa tidak ada perubahan nyata yang dihasilkan oleh proses politik yang ada. Kurangnya transparansi, kualitas kandidat yang tidak memadai, serta keterlibatan politik yang lemah membuat masyarakat merasa tidak mendapatkan manfaat dari 'pesta demokrasi' yang digelar,” tambah Annisa.
Annisa juga mencatat fenomena calon tunggal di sejumlah daerah, yang menunjukkan bahwa pencalonan kandidat seringkali hanya bersifat formalitas tanpa memberikan alternatif pilihan yang menarik bagi pemilih.

“Ada 37 daerah dengan calon tunggal dalam Pilkada 2024, yang menggambarkan bahwa partai politik seringkali hanya mencalonkan kandidat untuk memenuhi syarat administrasi, tanpa mempertimbangkan keberagaman pilihan yang layak bagi pemilih,” ujarnya.
Ia menyimpulkan bahwa meskipun pemisahan jadwal antara Pemilu dan Pilkada dapat mengurangi beban politik yang dirasakan masyarakat, langkah itu tidak cukup untuk meningkatkan partisipasi pemilih tanpa adanya perbaikan substansial dalam kualitas politik dan sistem pemilihan.

BACA JUGA:Prabowo: Pilkada 2024 Berjalan Damai Tanda Pendewasaan Berpolitik

BACA JUGA:Korban Demi Demokrasi, 6 Petugas KPPS Gugur dalam Pilkada 2024
"Jika kualitas politik tidak diperbaiki, sekadar mengubah jadwal saja tidak akan cukup untuk mendorong partisipasi pemilih yang lebih tinggi," tegas Annisa. (*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan