Mesin tersebut tidak mengeluarkan asap pekat yang biasanya membumbung ke langit saat menggunakan solar.
Selain mencemari udara dan lingkungan, para petani juga terpapar asap yang timbul dari hasil pembakaran bahan bakar fosil itu, saat mereka mengolah lahan pertanian, sehingga berdampak kepada kesehatan.
Selain itu, saat mengoperasikan mesin konvensional tersebut juga menimbulkan suara yang berisik, sedangkan dengan mesin bertenaga listrik, suara mesin dapat diredam.
Dari sisi mengoperasikannya, petani itu mengakui dapat beradaptasi karena tidak ada perbedaan ketika mengoperasikan mesin traktor atau dores konvensional.
Hanya saja, yang berbeda isi di dalam mesin tersebut yang sudah dimodifikasi dengan pemasangan baterai dan memiliki kapasitas atau daya tahan hingga tiga jam.
Penggunaan bantuan traktor dan mesin dores elektrik itu, saat ini digilir kepada para petani di Munduk Uma Palak Lestari.
Petani di Munduk Uma Palak Lestari, saat ini bisa menekan biaya produksi, terutama biaya bahan bakar minyak (BBM), setelah kehadiran inovasi Siuma dan mesin pertanian bertenaga listrik.
Selama ini, mesin traktor yang digunakan petani digerakkan menggunakan solar, sehingga mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, meski mendapatkan harga subsidi. Saat ini, harga BBM solar bersubsidi mencapai Rp 6.800 per liter.
Untuk mendapatkan solar subsidi, petani harus mengantongi surat rekomendasi dari dinas pertanian dengan pembelian solar di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang telah ditentukan.
Pekaseh Subak Sembung Made Darayasa yang saat ini menggarap 40 are atau 4.000 meter persegi lahan sawah miliknya bisa menjalani dua kali panen dalam satu tahun.
Di lahan pertaniannya, ia mengombinasikan padi organik seluas 25 are menggunakan varietas lokal mentik susu sejak dua tahun terakhir, beras merah, dan padi varietas lain.
Dalam dua kali masa panen, mulai dari pengolahan tanah, tanam padi, hingga panen, ia merogoh uang sekitar Rp4 juta untuk biaya produksi di luar ongkos tanam untuk upah tenaga musiman, pupuk, transportasi, dan biaya lainnya.
Rinciannya, untuk satu kali masa panen, ia mengeluarkan biaya Rp25 ribu per are atau total Rp1 juta untuk kebutuhan BBM, kemudian upah tenaga dua kali membajak sawah dan sewa mesin.
Selanjutnya saat panen, dengan asumsi hasil mencapai sekitar satu ton gabah, Darayasa mengeluarkan biaya sekitar Rp900 ribu, mencakup sewa mesin dores dan upah tenaga untuk menyabit padi dan panen.
Dengan adanya mesin pertanian bertenaga listrik itu, Darayasa bisa menghemat biaya BBM dan sewa mesin hingga sekitar Rp2 juta dari estimasi biaya produksi Rp4 juta.
Di sisi lain, dari 40 are lahan pertaniannya, ia juga mengembangkan padi organik seluas 25 are yang sudah dilakukan selama dua tahun terakhir untuk menekan penggunaan pupuk kimia.