Hanya saja, aktivitas manusia cenderung mendorong degradasi terumbu karang, sehingga membutuhkan upaya pemulihan yang perlu melibatkan kerja sama banyak pihak.
Untuk itu, CTC melakukan restorasi terumbu karang di Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida, sejak tiga tahun lalu. Pemetaan dilakukan untuk program restorasi itu menyasar wilayah yang terumbu karangnya rusak.
Di Nusa Penida, metode restorasi dilakukan dengan memasang wadah berbahan besi, dengan bentuk menyerupai bintang atau reef star. Agar fragmen karang menempel dengan baik, wadah tersebut dilapisi pasir.
Tanpa dilapisi pasir, fragmen karang yang hanya diikat di besi, dinilai tidak efektif karena berpotensi lepas dan tidak tumbuh.
Total sudah ada sekitar 1.000 reef star yang ditempatkan di dasar laut atau setara dengan luas sekitar 2.000 meter persegi di sejumlah wilayah di Nusa Penida yang terumbu karangnya rusak, di antaranya di Desa Toya Pakeh dan Desa Ped.
Lokasi lain yang disasar untuk restorasi adalah kawasan Teluk Gamat di Desa Sakti, dengan potensi rehabilitasi mencapai sekitar 5.000 meter persegi.
Upaya restorasi itu tidak semata dilakukan di kawasan terkenal dan menjadi primadona wisatawan, tapi juga di titik lain agar menjadi objek baru, sehingga beban turisme bisa merata.
Periode Maret-Mei dan September-November merupakan waktu yang tepat untuk melakukan restorasi terumbu karang karena mempertimbangkan air laut yang tenang dan musim laut yang stabil.
Kuota Penyelaman
Di kawasan Nusa Penida, setidaknya ada sekitar 18 titik penyelaman, namun yang lebih terkenal dan menjadi favorit adalah Crystal Bay dan Manta Point. Akibatnya, aktivitas pariwisata bahari terkonsentrasi di titik tertentu, sehingga beban wisata tidak merata.
Untuk itu, perlu diterapkan kuota dengan cara pendaftaran secara daring, sehingga ada skema bergiliran untuk menyelam. Apabila dalam satu waktu ada 40-45 perahu cepat, dengan asumsi masing-masing kapal membawa empat orang penyelam, maka diperkirakan sebanyak 180 orang menyelam dalam satu waktu dan tempat secara bersamaan.
arena itu, kapasitas perlu diatur, misalnya, maksimal dalam satu waktu 10 kapal, dengan asumsi empat orang atau 40 orang penyelam dan dilanjutkan dengan bergiliran.
Sementara itu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali Putu Sumardiana menyebutkan saat ini masih tahap kajian daya dukung lingkungan, khususnya untuk ekosistem terumbu karang di kawasan konservasi Nusa Penida dan dua pulau lainnya.
Sehingga saat ini belum ada pengaturan terkait kuota di titik penyelaman tertentu. Di satu sisi, penerapan kuota berpotensi memberi dampak terhadap ekonomi, yakni berkurangnya pemasukan.
Namun di sisi lain, ada potensi nilai tambah ketika kuota penyelaman itu diterapkan, yakni memberi ruang lebih besar dalam menjaga keberlanjutan ekosistem terumbu karang sebagai aset berharga untuk jangka panjang.
Transportasi laut dan alat penyelaman yang canggih, bisa jadi tidak memberi arti jika keindahan terumbu karang itu rusak.