Omnibus Law Politik Tak Boleh Terburu-buru
Dua Hakim Konstitusi Daniel Yusmic (kiri) dan Arsul Sani (kanan) berbincang di sela sidang putusan uji materi Undang-Undang Pilkada di Gedung MK.--
JAKARTA, JAMBIEKSPRES.CO- Dosen Politik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Lia Wulandari, mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam penyusunan revisi beberapa undang-undang politik menggunakan metode omnibus law. Ia menegaskan bahwa proses ini tidak boleh dilakukan secara terburu-buru dan harus melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat sipil, agar hasilnya dapat diterima secara luas.
“Setiap perubahan atau revisi undang-undang harus memperhitungkan risiko dan dampaknya dengan matang,” ujar Lia saat dihubungi oleh ANTARA dari Jakarta, Jumat. Ia merujuk pada pengalaman penyusunan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) yang, menurutnya, kurang melibatkan kajian mendalam serta analisis dampak jangka panjang dan pendek.
Lia menyoroti bahwa pada saat UU Cipta Kerja dirumuskan, masukan dari masyarakat, terutama buruh dan organisasi non-pemerintah (NGO) yang bergerak di bidang lingkungan, tidak mendapatkan perhatian yang cukup. “Kepentingan bisnis dan industri lebih dominan, mengingat tujuan utama UU Ciptaker adalah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Ia mengungkapkan harapannya agar dalam revisi undang-undang politik yang akan datang, pemerintah mengajak masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga penyelenggara pemilu untuk berpartisipasi aktif. “Proses revisi ini harus terbuka dan dapat dipantau oleh masyarakat, agar tidak ada kesan bahwa hanya kepentingan tertentu yang diakomodasi,” tambahnya.
BACA JUGA:Desak DPR Revisi Aturan Pilkada untuk Calon Tunggal yang Kalah
BACA JUGA:MUI Minta Revisi PP 28 Tahun 2024
Sebenarnya, revisi undang-undang melalui metode omnibus law memiliki potensi positif, karena dapat mengintegrasikan berbagai regulasi yang ada. Menurut Lia, undang-undang yang tersebar saat ini seringkali membuat implementasi di lapangan menjadi tumpang tindih, baik antara departemen, kementerian, maupun pemerintah daerah. “Kita perlu menghindari kesalahan yang sama, yakni mengubah undang-undang dengan tergesa-gesa tanpa melakukan kajian mendalam,” tegasnya.
Sebelumnya, pada Rabu (30/10), Badan Legislasi (Baleg) DPR membuka peluang untuk merevisi paket delapan undang-undang politik melalui metode omnibus law. Wacana tersebut diungkapkan oleh Wakil Ketua Baleg DPR, Ahmad Doli Kurnia, usai mengadakan rapat dengar pendapat umum dengan sejumlah organisasi pemantau pemilu.
Doli menyatakan bahwa evaluasi terhadap pelaksanaan Pemilu 2024 sangat penting, mengingat adanya berbagai masalah yang perlu ditangani. Dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Kamis (31/10), Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengungkapkan bahwa ia akan melaporkan usulan revisi undang-undang politik kepada Presiden RI Prabowo Subianto sebelum mengambil langkah selanjutnya.
Tito menjelaskan bahwa pihaknya masih akan mengkaji lebih lanjut mengenai kebutuhan revisi beberapa undang-undang tersebut, apakah perlu dipaketkan dalam bentuk omnibus law atau hanya direvisi secara terbatas per undang-undang. “Kita perlu menentukan apakah ada bagian yang perlu direvisi, dan hasil kajian ini akan disampaikan kepada DPR dalam rapat berikutnya,” tutup Tito.
Dengan pendekatan yang lebih hati-hati dan partisipatif, diharapkan penyusunan undang-undang dapat dilakukan dengan baik dan memberikan dampak positif bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. (ant)