Perempuan Penjaga Harmonisasi Alam Dari Dayak Iban
Langkah kaki Lidia Sumbun tampak tergesa menyusuri jalan setapak menuju hutan adat Dayak Iban Menua Sungai Utik. Pada akhir Februari 2024, sesekali hujan ringan mengguyur Sungai Utik, membuat jalan tanah sedikit licin.
---
SUDAH sepekan perempuan 49 tahun tersebut menunda masuk hutan karena menjalani ritual masa berkabung.
Masa berkabung atau "ngulit" wajib dijalani seluruh penghuni rumah panjang atau rumah "panjae" bila salah seorang dari mereka berpulang. Rumah komunal Dayak Iban Sungai Utik ini dihuni 175 jiwa.
Bermodal parang dan keranjang yang terbuat dari rotan, Lidia mengajak anak remaja lelakinya, Bayu, untuk mencari daun engkerbai ke hutan adat.
BACA JUGA:Cetak Sejarah Baru
BACA JUGA:Kemendagri tingkatkan kompetensi ASN dan PPPK melalui rapat lintas K/L
Daun engkerbai atau daun salung (Psychotria viridiflora) adalah jenis perdu yang banyak tumbuh di hutan adat Menua Sungai Utik. Daun ini adalah salah satu jenis tumbuhan yang dijadikan bahan pewarna alami tenun ikat khas Dayak Iban.
Setelah berjalan selama 30 menit ke dalam hutan, Lidia menemukan satu pohon engkerbai untuk diambil daunnya.
“Hanya daunnya saja yang diambil. Batangnya tidak boleh dipatahkan karena nanti akan tumbuh lagi daunnya,” kata Lidia.
Dibantu anak lelakinya, ia memetik bagian daun engkerbai dan dimasukkan ke keranjang rotan lalu bergeser ke tempat lain berjarak 100 meter untuk mengambil batang bemban atau bamban (Donax canniformis), bahan baku anyaman.
Batang bemban disayat memanjang bagian kulitnya yang berwarna hijau untuk dijadikan bahan anyaman. Bagian tengahnya (empulur) biasanya dibuang.
Setelah diolah dan dijemur, warnanya berubah menjadi cokelat mengilap. Batang juga jadi lebih halus tapi kuat sebagai bahan anyaman keranjang atau tikar.
Setelah mengambil kedua tumbuhan itu, mereka beranjak pulang ke dusun karena senja telah tiba.