Kepala DLHK Provinsi Kalbar, Adi Yani, mengatakan produk HHBK punya peran penting dalam menyokong perekonomian masyarakat di sekitar hutan. Data DLHK Provinsi Kalbar menyebutkan pada 2023 nilai ekonomi HHBK daerah ini mencapai Rp2,21 miliar yang dihasilkan dari 42 kelompok usaha dengan 46 aneka komoditas.
Lawan Krisis Iklim
Pemanfaatan hasil hutan secara berkelanjutan dipraktikkan masyarakat adat Dayak Iban sejak lama. Selain memanen, mereka memiliki peran melekat sebagai penjaga hutan. Setiap warga yang mengambil satu pohon, wajib menanam dua pohon pengganti.
Pohon-pohon di hutan adalah penyerap karbon dioksida (Co2), salah satu gas penyebab efek rumah kaca. Jika tidak diserap, Co2 bersama gas lainnya akan menahan panas sinar Matahari di Bumi sehingga tidak bisa dilepaskan ke atmosfer.
Akibatnya suhu Bumi makin panas dan pola cuaca berubah. Kondisi ini menyebabkan banyak bencana seperti hujan ekstrem yang memicu berbagai bentuk bencana hidrometeorologi dan kekeringan yang panjang. Semua kehidupan di Bumi akan terdampak.
Lidia mengatakan sebagian besar tumbuhan pewarna alam yang digunakan mewarnai benang tenun ikat, hidup di dalam hutan adat mereka. Dengan demikian, melindungi hutan adat sama dengan melestarikan tradisi tenun ikat dan menjadi salah satu tumpuan pendapatan.
Kesetiaan masyarakat Sungai Utik menjaga dan melestarikan hutan membuat mereka mendapat sejumlah penghargaan bergengsi. Pada 2019, mereka mendapat Equator Prize sebagai ganjaran atas konsistensi perjuangan dalam menjaga hutan yang mampu melindungi sekitar 1,31 juta ton metrik karbon hutan.
Masyarakat adat Dayak Iban Sungai Utik mengatur hutan mereka menurut hukum adat. Dari bentang hutan adat itu, 6.000 ha digunakan sebagai hutan lindung dan 3.480 ha untuk lahan bercocok tanam dengan sistem rotasi tradisional.
Pembagian kawasan hutan menurut hukum adat Dayak Iban terbagi menjadi tiga bagian besar, yaitu kampung taroh, yakni kawasan hutan yang tidak boleh dijadikan ladang, tidak boleh diambil kayunya. Lokasinya terletak jauh ke hulu di sebelah utara rumah betang.
Kedua, kampung galan. Ini kawasan hutan produksi terbatas di mana masyarakat dapat mengambil tanaman obat-obatan, kayu bakar, kayu pembuat sampan dengan pengawasan adat yang ketat lengkap dengan sanksinya. Hak pemanfaatan hanya bagi masyarakat kampung setempat.
Ketiga, kampung embor kerja. Kawasan ini untuk produksi berkelanjutan yang dikelola dengan prinsip keadilan dan kelestarian menurut (hukum) adat setempat.
Di kawasan ini terdapat pula tanah mali dan tanah bertuah yang tidak dijadikan kawasan produksi. Masyarakat kampung menghindari penebangan kayu pada kawasan ini.
Tanah mali dan bertuah ini hanya jadi sumber bibit kayu dan tumbuhan lainnya. Pohon dengan batang kurang dari diameter 30 cm harus dibiarkan dan tidak diganggu.
Komunitas ini juga diganjar penghargaan Gulbenkian Prize for Humanity dari Yayasan Calouste Gulbenkian, Juli 2023. Ini adalah penghargaan bagi aksi lokal mereka dalam menjaga hutan untuk mencegah krisis iklim.
Dua penghargaan ini menegaskan peran warga Sungai Utik sebagai inspirasi dan pembelajaran bersama dalam mencegah terjadinya krisis iklim.
Hidup selaras dengan alam adalah kredo bagi komunitas adat ini. Mereka memegang teguh prinsip warisan leluhur. Bunyinya, “babas adalah apai kami, tanah adalah inai kami, dan ae adalah darah kami”. Artinya, hutan adalah bapak kami, tanah adalah ibu, dan air ibarat darah yang mengalir dalam tubuh. (ant)