“Dua tumbuhan lagi yaitu jangau dan menuang --- yang belum diketahui nama ilmiahnya-- juga digunakan sebagai pewarna alam,” kata Wahdina, dosen peneliti tumbuhan pewarna alami dari Fahutan Untan.
Praktik konservasi, yaitu pemanfaatan dan pengawetan yang dilakukan perempuan Sungai Utik, penting untuk dilestarikan mengingat praktik ramah lingkungan ini selaras dengan pelestarian hutan.
Menurut Wadina, bila hutan adat hilang maka sumber daya pewarna alamiah yang selama ini digunakan perempuan Utik juga otomatis akan hilang. Pasalnya, sebagian besar tanaman pewarna alam dapat tumbuh di bawah naungan pohon yang lebih besar dan tinggi.
Penggunaan pewarna alam yang ramah lingkungan adalah solusi di tengah penggunaan pewarna tekstil berbahan kimia yang terbukti menurunkan kualitas lingkungan.
“Masyarakat adat Iban menggunakan tumbuhan pewarna alami ini dengan bijak, hanya mengambil bagian tertentu dan memanfaatkan tumbuhan yang sudah mati, terutama pewarna alam dari ulin,” katanya menerangkan.
Penelitian Fahutan Untan ini juga menemukan bahwa sebagian besar tumbuhan pewarna alam tumbuh di zona tradisional atau areal yang sudah ditanami untuk berladang.
Penggunaan tumbuhan hutan ini turut membentuk budaya sandang dari Dayak Iban. Mereka menjadikan kain tenun sebagai identitas dalam berbagai upacara adat seperti perkawinan, gawai (perayaan setelah panen), hingga kematian.
Selain untuk kebutuhan sehari-hari, kini tenun ikat Dayak Iban ini mampu menjadi salah satu tumpuan ekonomi masyarakat.
Lidia Sumbun bersama 31 perempuan Dayak Iban Sungai Utik lainnya melestarikan keterampilan menenun dan menganyam sebagai identitas budaya sekaligus penopang perekonomian keluarganya.
Ibu dua anak ini menceritakan pernah membuat kain tenun termahal. Motifnya manusia, yang dijualnya Rp4,5 juta untuk konsumen di Kota Bogor, Jawa Barat, sedangkan harga anyaman tikar termahal dijual Rp2 juta.
Dari bermacam karya tenun seperti syal, taplak meja, kain bermotif serta rompi. Harga termurah adalah syal kecil yang dibanderol Rp150 ribu per helai.
Lidia mengungkapkan pendapatan dari kerajinan ini bisa digunakan untuk membiayai pendidikan anak remaja lelakinya yang duduk di bangku SMA.
“Kalau betul-betul fokus, pendapatan bisa mencapai Rp5 juta per bulan. Akan tetapi sering teralihkan dengan kesibukan lain seperti ke ladang, acara gereja, termasuk kalau ada musibah, ada anggota rumah panjang meninggal, otomatis harus puasa menenun dan menganyam,” katanya.
Jauh sebelum istilah hilirisasi viral di jagat maya, orang Dayak Iban telah menerapkan praktik ini. Bahkan praktik ekonomi hijau pun sangat akrab dengan masyarakat adat ini.
Ketua Kelompok Telaga Kumang Sungai Utik, Maryetha Samay, yang mengorganisasi para perajin tenun dan anyaman di Dusun Sungai Utik mengatakan produk mereka sudah mulai dikenal. Sebabnya, produk mereka kerap dipamerkan di lingkup pertemuan masyarakat adat tingkat nasional.
“Kami sudah beberapa kali membawa hasil kerajinan anyaman dan tenun ke pameran di Jakarta dan Bali. Sambutan konsumen sangat baik. Setiap produk yang kami bawa pasti habis terjual,” kata Maryetha.