Tiba di rumah panjang, Lidia langsung ke dapur, menyalakan api untuk merebus daun engkerbai. Malam nanti, ia akan mencelupkan benang tenun ikat ke dalam air rebusan daun engkerbai untuk mendapatkan warna merah alami.
Air rebusan daun engkerbai dimasukkan ke dalam baskom hitam lalu ditunggu hingga suhunya hangat. Selanjutnya ia mencelupkan dan merendam seluruh bagian benang ke dalam baskom dan selanjutnya didiamkan selama 60 menit.
Sebelumnya, perempuan Dayak Iban menanam pohon kapas untuk dijadikan benang. Namun saat ini, benang cukup mudah didapatkan di pasar sehingga mereka tidak lagi menanam pohon kapas.
Proses pencelupan benang tenun dilakukan tiga hingga empat kali untuk mendapatkan warna merah terang.
Lidia baru melakukan pewarnaan benang satu kali lalu tertunda karena ada masa berkabung. Masyarakat adat Dayak Iban wajib menjalani berbagai pantangan, termasuk menenun dan menganyam.
Setelah didiamkan 1 jam, benang dikeringanginkan lalu kembali dicelupkan hingga tiga kali. Setelah itu, benang siap ditenun.
Hasil Hutan
Hutan adat Dayak Iban Menua Sungai Utik terletak di Desa Batu Lintang Kecamatan Embaloh Hulu Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
Pada 2020, Pemerintah mengakui dan menetapkan hutan adat masyarakat adat Dayak Iban Menua Sungai Utik Ketemenggungan Jalai Lintang seluas 9.480 hektare (ha).
Hutan adat ini adalah rumah bagi keanekaragaman hayati yang telah menghidupi masyarakat adat Dayak Iban selama ratusan tahun. Termasuk juga jadi rumah bagi burung kuau raja (Argusianus argus), yang diklasifikasikan sebagai satwa hampir terancam dalam daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN), burung kucica hutan (Kittacincla malabarica) dan burung rangkong gading (Rhinoplax vigil), terdaftar sebagai satwa nyaris punah pada daftar merah IUCN. Penelitian Rangkong Indonesia menyebutkan ada delapan jenis burung rangkong yang hidup di hutan adat Sungai Utik.
Hutan ini juga jadi tempat hidup pohon tengkawang (Shorea stenoptera) yang dikategorikan sebagai hampir terancam pada daftar merah IUCN. Selama bertahun-tahun mereka mati-matian mempertahankan kelestarian hutan ini dan menolak seluruh rencana alih fungsi komersil.
Daun engkerbai adalah salah satu tumbuhan yang menjadi vegetasi hutan adat Sungai Utik. Secara turun temurun tumbuhan ini telah dipanen dari hutan adat untuk dijadikan pewarna alami bahan tenun ikat khas Dayak Iban.
Selain itu, perempuan Sungai Utik juga menggunakan tumbuhan hutan lainnya seperti tarum (Indigofera sp) atau rengat padi sebagai pewarna tenun ikat.
Penelitian dosen Fakultas Kehutanan Universitas Tanjung Pura (Fahutan Untan) bersama masyarakat adat Sungai Utik yang didokumentasi dalam jurnal Etnobotani Tumbuhan Pewarna Alam di Kalimantan Barat mengidentifikasi 15 jenis tumbuhan hutan yang digunakan perempuan Sungai Utik untuk mewarnai kain tenun.
Lima belas jenis tumbuhan hutan itu adalah bungkang (Szygium polyanthum), beting (Litsea sp), engkerbai kayoh (Psychotria malayana), engkerbai laut (Peristrophe sp), entemu (Curcuma sp), jambu melaban (Psidium guajava), medang balong (Actinodaphne glomerata).
Berikutnya, engkudu (Morinda citrifolia), manyam (Glochidion lutescens), rengat kikat (Clerodendrum laevifolium), rengat padi (Indigofera suffruticosa), sibau (Nephelium cuspidatum), dan ulin (Eusideroxylon zwageri).