Ia pun menceritakan pengalaman saat pameran di Bali pada 2012. Mereka membawa 50 tikar anyaman berbahan bemban yang habis terjual. Harganya berkisar Rp500 ribu hingga Rp1 juta per lembar.
Lalu saat pameran dalam rangka hari masyarakat adat di Jakarta pada 2018, mereka membawa 10 tikar dan sejumlah tenun, anyaman keranjang, obat-obatan, dan pewarna alam. Seluruhnya habis terjual.
Sejumlah agenda yang diselenggarakan pemerintah daerah, gereja, serta organisasi nonpemerintah juga dijadikan ajang promosi kerajinan HHBK dari hutan adat Dayak Iban Sungai Utik.
“Produk kami disukai karena kualitasnya bagus dan menggunakan bahan dan pewarna alami dari hutan kami. Maka kami bersama-sama menjaga hutan yang akan diwariskan kepada anak-anak perempuan penerus budaya tenun dan anyaman,” katanya.
Ekonomi Hijau
Hilirisasi adalah strategi untuk meningkatkan nilai tambah suatu produk atau komoditas dengan cara mengubahnya menjadi produk yang lebih kompleks atau memiliki nilai tambah lebih tinggi. Suatu bahan akan dibuat menjadi produk yang lebih bervariasi, berkualitas, dan diminati oleh pasar.
Tenun Dayak Iban yang memakai pewarna alam merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan nilai ekonomi produk tenun itu sendiri tanpa meninggalkan kaidah alam.
Meski bernilai jual tinggi, sayangnya produk tenun pewarna alam ini masih terbatas pemasarannya. Kondisi ini mendorong Asosiasi Perempuan Pendamping Usaha Kecil (Asppuk) mendampingi komunitas masyarakat Dayak Iban, pada kurun 2016 hingga 2019.
Selain pendampingan dalam pelestarian tenun pewarna alam, Asppuk juga mencoba mempromosikan kain tenun pewarna alam ke pasar global. Asppuk membawa tenun Dayak Iban ke New York Fashion Week.
Anggota Dewan Pengurus Nasional Asppuk, Salmiah Ariyana, mengatakan lembaganya mendampingi perempuan perajin tenun ikat Dayak Iban karena ketergantungan mereka terhadap tenun. Tenun adalah identitas sekaligus juga jadi tumpuan ekonomi.
Sejak 2016, Asppuk dan Yayasan Kehati melalui program Tropical Rainforest Conservation Action (TFCA) mendampingi masyarakat adat Dayak Iban. Program ini bertujuan melakukan konservasi tumbuhan pewarna alam di 11 kampung/dusun di Kecamatan Embaloh Hulu dan Batang Lupar, termasuk di Dusun Utik.
“Kami merestorasi kembali pengetahuan mereka tentang pewarna alam karena selama ini hanya penenun senior yang masih mengenal jenis tumbuhan pewarna alam ini. Beberapa tumbuhan juga sudah sulit ditemukan,” kata Salmiah.
Bersama perempuan Iban, mereka menggali kembali pengetahuan tentang pewarna alam. Proses ini didokumentasikan agar dapat diteruskan oleh generasi penenun berikutnya.
Tenun yang sudah menjadi sumber penghidupan perempuan Utik penting dilestarikan. Bila sumber penghidupan perempuan ini hilang maka identitas perempuan akan hilang.
“Kami juga menginisiasi penanaman kembali tumbuhan pewarna alam itu di sekitar rumah mereka agar praktik tenun dengan pewarna alam ini berkelanjutan,” ucapnya.
Pemerintah daerah juga mencoba mengambil peran dalam memasarkan produk mereka. Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kalimantan Barat mendirikan galeri di samping Pendopo Gubernur Kalbar di Kota Pontianak. Ada 147 jenis hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang dipamerkan di galeri itu.