Menebang Sebatang Mangrove, Ganti Rugi 1000 Propagul

HUTAN MANGROVE: Masyarakat memancing ikan di sekitar hutan mangrove di Desa Pasar Rawa, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara, Selasa (3/12/2024). FOTO: ANTARA/RIZKA KHAERUNNISA --

Cerita Dari Pesisir Langkat, Tentang Mereka yang Menjaga Mangrove

Rudi masih mengingat bagaimana rupa lahan pesisir di Desa Pasar Rawa pada masa lalu. Desa yang jauhnya sekitar 70-80 kilometer dari kota Medan, Sumatra Utara, itu sangat kaya dengan ekosistem hutan mangrove, membuat masyarakat tidak pernah kesulitan menangkap ikan, udang, dan kepiting, hingga memanen madu.

---

SETELAH merantau sekian lama dan kembali ke kampung halaman, Rudi justru mendapati sejumlah masyarakat masuk bui akibat mencuri sawit. Ini lantaran dipicu alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran di Desa Pasar Rawa dalam kurun waktu 2010-2018, yang membuat sumber mata pencaharian warga setempat hilang.

Rudi mencatat, kala itu, sekitar 2.000 hektare lahan yang sudah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit. Kemudian, limbah sawit juga mencemari perairan Desa Pasar Rawa, Kecamatan Gebang, sehingga tidak ada lagi biota pesisir yang hidup di dalamnya.

“Masyarakat sudah tidak ada lagi sumber mata pencariannya, sehingga mereka mencuri sawit hanya untuk menahan lapar sejengkal perut. Mereka mencuri bukan untuk memperkaya diri, tapi untuk bertahan hidup karena mata pencariannya hilang,” cerita Rudi, ketika dijumpai ANTARA

BACA JUGA:Dari Keindahan Alam Bawah Laut Hingga Mangrove yang Menghijau

BACA JUGA:Yamaha Motor Indonesia Tanam 40.000 Pohon Mangrove

Ekosistem mangrove di Desa Pasar Rawa sudah rusak parah sekitar tahun 2004. Ini yang diingat Wahyudi, Ketua Kelompok Tani (KT) Penghijauan Maju Bersama. Penebangan mangrove yang tidak terkontrol, sekaligus memusnahkan rumah bagi biota-biota pesisir. Masyarakat yang bertambak juga mengalami kegagalan akibat ekosistem yang rusak.

Jauh sebelum mendirikan kelompok tani, mulanya Wahyudi bekerja sebagai bandar arang di Desa Pasar Rawa. Banyak masyarakat setempat menebang mangrove untuk dijadikan bahan baku pembuatan arang. Mereka menjualnya kepada Wahyudi.

Kelompok tani kemudian dibentuk pada 2011. Saat itu, masyarakat belum bisa memutuskan ke mana arah kelompok tani yang baru didirikan. Hal yang mereka tahu, hutan mangrove telah rusak dan masyarakat perlu untuk melakukan penanaman kembali. Sebenarnya niat awal penanaman mangrove itu agar nantinya dapat dilakukan tebang pilih dan masyarakat tetap bisa memproduksi arang berbahan dasar kayu mangrove.

Setelah empat tahun berselang, mangrove yang ditanam masyarakat mulai tumbuh besar. Mereka menyadari bahwa menanam dan menumbuhkan mangrove bukan pekerjaan yang mudah. Menebang mangrove hanya membutuhkan waktu hitungan jam, sedangkan menumbuhkannya hingga menjadi benar-benar besar membutuhkan waktu tahunan. Pada titik ini, masyarakat dalam kelompok tani yang dipimpin Wahyudi mengurungkan niat awalnya.

Selama melakukan penanaman mangrove itu, KT Penghijauan Maju Bersama belum mendapatkan pendampingan dari Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) setempat. Pada 2017, kelompok ini dianjurkan untuk mengikuti program perhutanan sosial. Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi mereka untuk mendapatkan izin pengelolaan hutan seluas 177,8 hektare.

Setelah surat keputusan (SK) akses kelola perhutanan sosial didapatkan pada 2018, masyarakat sepakat untuk menutup seluruh dapur arang di Desa Pasar Rawa. Mereka juga menyusun peraturan sendiri, berupa pemberian denda sosial bagi pelaku penebangan mangrove. Untuk setiap satu batang mangrove yang ditebang, pelaku wajib menggantinya dengan 1.000 batang propagul atau bibit mangrove.

Tag
Share